Senin, 05 Desember 2016

Masyarakat Tradisional vs Masyarakat Modern



Jangan Lecehkan Masyarakat Tradisional

          Masyarakat yang (mengaku dirinya) modern, seringkali bertingkah arogan, melecehkan prilaku masyarakat tradisional. Kenyataan tersebut tercermin dari sebutan “ndesa”, ndesani” (kampungan) terhadap kelakuan orang yang dinilai tidak sepatutnya.
            Padahal jika diperhatikan lebih teliti dalam hal penataan lingkungan, baik lingkungan alam, lingkungan binaan (built environment) maupun lingkungan social banyak sekali kearifan yang dapat ditimba dari masyarakat yang sering sekali disebut kuno dan terbelakang tersebut.
            Kali ini, kita berusaha mengkaji kembali kearifan lingkungan warisan nenek moyang kita untuk didayagunakan kembali guna tercapainya upaya pelestarian keseimbangan lingkungan dalam rangka keberlanjutan pembangunan yang selalu didengungkan belakangan ini.
            Berikut beberapa butir kearifan lingkungan masyarakat tradisional yang dapat diambil guna dikembangkan dimasa depan;
1.      Ruang Publik (public space)
Public space merupakan tempat dimana warga melakukan kontak social, pada lingkungan masyarakat tradisional selalu tersedia dalam berbagai jenis, mulai dari pekarangan komunal, lapangan desa, lapangan dilingkungan rukun tetangga, sampai ke alun-alun yang berskala kota. Bahkan ruang public bagi warga yang meninggal dunia pun yang berupa kuburan umum sudah disiapkan bahkan untuk beberapa generasi.
Jika kita menengok kebelakang setiap sekolahan pun juga boleh dikatakan memiliki public space, paling tidak berupa lapangan olahraga, mulai sekolah TK hingga setingkat SLTA. Selain itu terdapat aula yang bisa digunakan untuk kegiatan apa saja  misalnya karate, bermain ping pong, senam, atau ruang pertemuan, bahkan beberapa sekolah memiliki kebun untuk latikan bercocok tanam bagi murid-muridnya (ex; menanam kacang, jagung, singkong, atau berbagai jenis bunga).
Jalan atau lorong-lorong tidak sekedar digunakan sebagai penyambung arus lalu lintas melainkan juga dimanfaatkan sebagai wadah kontak social dan tempat bermain bagi anak-anak (living space), dulu seringkali kita temukan banyak anak anak yang bermain dijalanan seperti gasingan, dhir-dhiran, layangan, mobil-mobilan dan permainan lainnya.
Terdapat beraneka ragam ruang public baik yang skala RT, RW, Desa maupun Kota, hal tersebut dipertahankan dari waktu ke waktu oleh semua warga, rasa saling memiliki mereka sangat kuat, solidaritas tinggi hingga tidak ada yang berani menggusur untuk kepentingan pribadi.
----------
Coba kita bandingkan dengan yang kita sering lihat sekarang di lingkungan sekitar, lingkungan perumahan baru baik itu yang elite maupun yang sederhana selalu saja dipadati dengan bangunan, tidak memperhatikan perlunya ruang public. Terkadang taman-taman yang sudah ada malah dikapling untuk bangunan, alun-alun disulap jadi kompleks perdagangan (pertokoan) dan jasa. Anak sekolahan pun tak bisa lagi menikmati adanyan lapangan olahraga karena lahan yang tersedia sangan minim, meskipun lahannya tersedia, bukannya dijadikan lapangan malah jumlah bangunan yang terus ditambah.. Ironis bukan??
Parahnya lagi, banyaknya lapangan-lapangan golf bermunculan yang kebanyakan pemainnya justru orang-orang dewasa dan tidak dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Menurut hemat saya pembangunan yang dilakukan untuk menaikkan pendapatan daerah itu sah-sah saja namun masalah lingkungan tak boleh dikesampingkan.
2.      Penghijauan kota
Beberapa waktu belakangan ini gencar sekali dilakukan kampanye penghijauan kota, rencana ruang terbuka hijau (RTH) pun disusun oleh para konsultan yang bekerjasama dengan dinas cipta karya dan pemda tingkat II, padahal sudah sejak ratusan tahun silam nenek moyang kita sudah melakukannya, tanpa rencana yang serba formal dan canggih.
Halaman-halaman rumah biasanya banyak ditanami berbagai jenis pepohonan yang dapat dipetik hasilnya ex: mangga, rambutan, tebu, kelapa, dll. Jika halaman rumah berbatasan dengan sungai disana kita bisa menjumpai banyak tanaman yang dijadikan pembatas antara halaman rumah dan daerah sungai seperti tanaman salak, coklat, pohon jati, dll.
Keberagaman tanaman (mixed crops) ini yang dikenal dengan istilah tumpangsari dengan aneka jenis tanaman pada lahan yang sama menunjukkan kearifan tersendiri. Sedangkan dimasa sekarang ini penyergaman tanaman yang dilakukan sangat mengkhawatirkan karena begitu ada hama yang menyerang jenis tanaman tertentu maka semuanya langsung punah. Selain itu, Kebiasaan masyarakat tradisional mempertahankan  pohon-pohon tua atau Besar karena alasan keramat/angker mendukung terciptanya lingkungan binaan yang bersahabat dengan alam.
3.      Anggapan mengenai Tanah
Dilingkungan masyarakat tradisional tanah dinilai sebagai harta milik yang suci, yang mesti dipertahankan mati-matian. Tanah dianggap sebagai karunia tuhan yang wajib dijaga guna diwariskan kepada anak cucu dari generasi ke generasi. Tanah tidak dilihat sebagai komoditi yang dapat diperjual-belikan dalam pasar bebas dengan perhitungan ekonomis semata-mata.
Sebuah kalimat yang saya kutip dari salah satu dosen yaitu “siapa yang bisa mematok harga dari desir angin, gemerisik pepohonan, gemericik air, aroma dan kehangatan dari tanah hasil cipta karya Tuhan Yang Maha Esa ini?” karena  sepandai-pandainya manusia saat ini tidak ada yang bisa menciptakan tanah.
Nah, coba kita bandingkan dengan kondisi sekarang sangat terlihat kecenderungan tanah diperlakukan sebagai komoditi ekonomi yang digiring sana-sini. Banyak sekali sawah-sawah di desa dibeli oleh orang-orang dari kota, sehingga petani “pemilik” sawah beralih menjadi “buruh tani”, lahan diperkotaan diborong oleh orang-orang pemilik modal yang serakah sehingga masyarakat menegah ke bawah termarginalkan. Sering pula kita jumpai banyak lahan kosong yang dibeli oleh kalangan atas yang kemudian didiamkan begitu saja tanpa difungsikan sama sekali (lahan tidur), lahan yang masih tersedia cukup luas untuk seluruh warga, hanya kepemilikannya yang timpang karena sudah dikuasai oleh segelintir pengembang yang dijuluki “robber barons”.
Perkara harga yang melangit sebenarnya hanyalah permainan, manipulasi, dan rekayasa dari para spekulan tanah karena tidak adanya tolok ukur atau ketentuan pasti yang bisa dibakukan.
Mestinya sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat tradisional yang sangat kental dengan kearifannya, tanah tidak mestinya sekadar di perlakukan sebagai komoditi melainkan seyogyanya dilihat sebagai benda social dan bahkan lebih tepat lagi dinilai sebagai alat/instrument pembangunan manusia.
Semoga bermanfaat ya ….!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar