Jangan
Lecehkan Masyarakat Tradisional
Masyarakat yang (mengaku
dirinya) modern, seringkali bertingkah arogan, melecehkan prilaku masyarakat
tradisional. Kenyataan tersebut tercermin dari sebutan “ndesa”, ndesani” (kampungan) terhadap kelakuan orang yang dinilai
tidak sepatutnya.
Padahal jika diperhatikan lebih
teliti dalam hal penataan lingkungan, baik lingkungan alam, lingkungan binaan
(built environment) maupun lingkungan social banyak sekali kearifan yang dapat
ditimba dari masyarakat yang sering sekali disebut kuno dan terbelakang
tersebut.
Kali ini, kita berusaha mengkaji
kembali kearifan lingkungan warisan nenek moyang kita untuk didayagunakan
kembali guna tercapainya upaya pelestarian keseimbangan lingkungan dalam rangka
keberlanjutan pembangunan yang selalu didengungkan belakangan ini.
Berikut beberapa butir kearifan
lingkungan masyarakat tradisional yang dapat diambil guna dikembangkan dimasa
depan;
1. Ruang
Publik (public space)
Public space merupakan tempat dimana warga melakukan
kontak social, pada lingkungan masyarakat tradisional selalu tersedia dalam
berbagai jenis, mulai dari pekarangan komunal, lapangan desa, lapangan
dilingkungan rukun tetangga, sampai ke alun-alun yang berskala kota. Bahkan ruang
public bagi warga yang meninggal dunia pun yang berupa kuburan umum sudah
disiapkan bahkan untuk beberapa generasi.
Jika kita menengok kebelakang setiap sekolahan pun
juga boleh dikatakan memiliki public space, paling tidak berupa lapangan
olahraga, mulai sekolah TK hingga setingkat SLTA. Selain itu terdapat aula yang
bisa digunakan untuk kegiatan apa saja
misalnya karate, bermain ping pong, senam, atau ruang pertemuan, bahkan
beberapa sekolah memiliki kebun untuk latikan bercocok tanam bagi
murid-muridnya (ex; menanam kacang, jagung, singkong, atau berbagai jenis
bunga).
Jalan atau lorong-lorong tidak sekedar digunakan
sebagai penyambung arus lalu lintas melainkan juga dimanfaatkan sebagai wadah kontak
social dan tempat bermain bagi anak-anak (living space), dulu seringkali kita
temukan banyak anak anak yang bermain dijalanan seperti gasingan, dhir-dhiran,
layangan, mobil-mobilan dan permainan lainnya.
Terdapat beraneka ragam ruang public baik yang skala
RT, RW, Desa maupun Kota, hal tersebut dipertahankan dari waktu ke waktu oleh
semua warga, rasa saling memiliki mereka sangat kuat, solidaritas tinggi hingga
tidak ada yang berani menggusur untuk kepentingan pribadi.
----------
Coba kita bandingkan dengan yang kita sering lihat sekarang
di lingkungan sekitar, lingkungan perumahan baru baik itu yang elite maupun
yang sederhana selalu saja dipadati dengan bangunan, tidak memperhatikan
perlunya ruang public. Terkadang taman-taman yang sudah ada malah dikapling
untuk bangunan, alun-alun disulap jadi kompleks perdagangan (pertokoan) dan
jasa. Anak sekolahan pun tak bisa lagi menikmati adanyan lapangan olahraga
karena lahan yang tersedia sangan minim, meskipun lahannya tersedia, bukannya
dijadikan lapangan malah jumlah bangunan yang terus ditambah.. Ironis bukan??
Parahnya lagi, banyaknya lapangan-lapangan golf bermunculan
yang kebanyakan pemainnya justru orang-orang dewasa dan tidak dapat dijangkau
oleh seluruh lapisan masyarakat.
Menurut hemat saya pembangunan yang dilakukan untuk
menaikkan pendapatan daerah itu sah-sah saja namun masalah lingkungan tak boleh
dikesampingkan.
2. Penghijauan
kota
Beberapa waktu belakangan ini gencar sekali
dilakukan kampanye penghijauan kota, rencana ruang terbuka hijau (RTH) pun
disusun oleh para konsultan yang bekerjasama dengan dinas cipta karya dan pemda
tingkat II, padahal sudah sejak ratusan tahun silam nenek moyang kita sudah
melakukannya, tanpa rencana yang serba formal dan canggih.
Halaman-halaman rumah biasanya banyak ditanami berbagai
jenis pepohonan yang dapat dipetik hasilnya ex: mangga, rambutan, tebu, kelapa,
dll. Jika halaman rumah berbatasan dengan sungai disana kita bisa menjumpai
banyak tanaman yang dijadikan pembatas antara halaman rumah dan daerah sungai
seperti tanaman salak, coklat, pohon jati, dll.
Keberagaman tanaman (mixed crops) ini yang dikenal
dengan istilah tumpangsari dengan aneka jenis tanaman pada lahan yang sama
menunjukkan kearifan tersendiri. Sedangkan dimasa sekarang ini penyergaman
tanaman yang dilakukan sangat mengkhawatirkan karena begitu ada hama yang
menyerang jenis tanaman tertentu maka semuanya langsung punah. Selain itu, Kebiasaan
masyarakat tradisional mempertahankan pohon-pohon
tua atau Besar karena alasan keramat/angker mendukung terciptanya lingkungan
binaan yang bersahabat dengan alam.
3. Anggapan
mengenai Tanah
Dilingkungan masyarakat tradisional tanah dinilai
sebagai harta milik yang suci, yang mesti dipertahankan mati-matian. Tanah dianggap
sebagai karunia tuhan yang wajib dijaga guna diwariskan kepada anak cucu dari
generasi ke generasi. Tanah tidak dilihat sebagai komoditi yang dapat
diperjual-belikan dalam pasar bebas dengan perhitungan ekonomis semata-mata.
Sebuah kalimat yang saya kutip dari salah satu dosen
yaitu “siapa yang bisa mematok harga dari desir
angin, gemerisik pepohonan, gemericik air, aroma dan kehangatan dari tanah
hasil cipta karya Tuhan Yang Maha Esa ini?” karena sepandai-pandainya manusia saat ini tidak ada
yang bisa menciptakan tanah.
Nah, coba kita bandingkan dengan kondisi sekarang
sangat terlihat kecenderungan tanah diperlakukan sebagai komoditi ekonomi yang
digiring sana-sini. Banyak sekali sawah-sawah di desa dibeli oleh orang-orang
dari kota, sehingga petani “pemilik” sawah beralih menjadi “buruh tani”, lahan
diperkotaan diborong oleh orang-orang pemilik modal yang serakah sehingga
masyarakat menegah ke bawah termarginalkan. Sering pula kita jumpai banyak lahan
kosong yang dibeli oleh kalangan atas yang kemudian didiamkan begitu saja tanpa
difungsikan sama sekali (lahan tidur), lahan yang masih tersedia cukup luas untuk
seluruh warga, hanya kepemilikannya yang timpang karena sudah dikuasai oleh
segelintir pengembang yang dijuluki “robber barons”.
Perkara harga yang melangit sebenarnya hanyalah
permainan, manipulasi, dan rekayasa dari para spekulan tanah karena tidak
adanya tolok ukur atau ketentuan pasti yang bisa dibakukan.
Mestinya sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat
tradisional yang sangat kental dengan kearifannya, tanah tidak mestinya sekadar
di perlakukan sebagai komoditi melainkan seyogyanya dilihat sebagai benda social
dan bahkan lebih tepat lagi dinilai sebagai alat/instrument pembangunan
manusia.
Semoga bermanfaat ya ….!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar